Agung Septiandi |
Angin bertiup dingin. Aku
berjalan di koridor yang sepi sambil mendekap tas punggung ku untuk sedikit
menghangatkan badan. Cuaca sedang tidak baik, dan suasana sekolah tidak sesepi
biasanya. Sambil terus berjalan, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, mencari
sekelompok anak-anak yang biasanya masih duduk santai di ujung koridor.
Pandanganku sedikit kabur karena aku tidak menggunakan lensa kontak ku hari ini. Aku mencoba menajamkan pandangan sebisaku, kemudian berjalan menuju anak-anak di ujung koridor yang tampak membelakangiku.
Pandanganku sedikit kabur karena aku tidak menggunakan lensa kontak ku hari ini. Aku mencoba menajamkan pandangan sebisaku, kemudian berjalan menuju anak-anak di ujung koridor yang tampak membelakangiku.
"Hai ! Aku udah bawa
bahannya!" sapaku ringan sambil mengibas-kibaskan tanganku karena merasa
pegal.
Seseorang dari anak-anak
itu menoleh ke arahku, menatapku bingung. Aku pun bingung. Entah seperti apa
muka ku sekarang. Mungkin sudah berawarna merah padam karena malu.
"Kamu cari
siapa?" tanyanya sopan.
Aku grogi. Jantungku
berdegup kencang.
"Enng... aku... cari
temen-temenku.. temenku yang biasa disini.." jawabku sambil terus mencoba
menormalkan degup jantungku.
Dia
menatap ke ujung kiri pandangannya, sedikit menyipitkan mata.
"Oh mereka yang itu,
ya?" dia bertanya sambil mengarahkan telunjuknya. Mataku mengekori arah
telunjuknya, memiringkan sedikit kepalaku.
Aku mencelos. Ternyata
teman-temanku ada disana. Tanpa sadar aku mengehentakkan kaki kananku. Raut
wajahku berubah kesal sekaligus menahan malu dan menahan ekspresi bodoh yang
bisa saja aku tunjukkan pada seseorang dihadapanku ini.
Aku
menolehkan kepalaku, melihat ke arahnya. Dia sudah kembali menekuni
pekerjaannya yang tertunda karena aku. Dengan refleks aku menepukkan tanganku
di pundaknya.
"Makasih ya. Maaf
udah salah orang, dan mungkin mengganggu." ujarku.
Dia mendongakkan kepala,
dan menjawab dengan sorot mata dan anggukkan kepala. Tak lupa sudut bibirnya
tertarik ke atas, membentuk lengkungan tipis, samar. Kemudian kembali ke
posisinya semula. Bahkan aku belum sempat membalas senyumannya. Aku berlalu
begitu saja, sambil sesekali menoleh ke belakang, berharap dia sedikit
merasakan kalau aku memperhatikannya. Namun yang ada malah aku tak fokus dengan
koridor didepanku dan hampir menabrak tembok.
***
Matahari sudah semakin
mengarah ke ujung barat, namun tanpa semburat jingga yang biasa mengiringinya.
Aku mendengus sebal. Senja tidak seharusnya tidak indah seperti ini. Sebagai
penggemar senja dan iringan jingganya, tiada satu hari pun terlewatkan untuk
memperhatikan perbedaan senja dan jingga tiap harinya. Semuanya terasa indah,
dan menyenangkan. Kecuali untuk hari ini, dan tentunya hari-hari lain yang
seperti hari ini.
Kegiatan bersama
teman-teman hari ini cukup membuatku kehilngan banyak mineral. Ditambah lagi
jantungku yang tadi dengan teganya berdegup begitu kencang, membuatku semakin
kehilangan energiku. Aku memutuskan untuk membeli minuman dingin sebentar, dan
langsung pulang. Ketika aku baru saja menyebrangi zebracross, aku baru sadar,
kami sedang berada di trotoar yang sama. Aku melihatnya berjalan sambil
menunduk. Dari gelagatnya, dia tampak sedang berjalan sambil memainkan
ponselnya. Terkadang untuk beberapa saat dia berhenti untuk sekedar merapikan
jaketnya. Aku berjarak 100 meter darinya. Dan aku hanya diam melihatnya
berjalan semakin menjauh.
"AWAS !!"
Aku berlari secepat
mungkin mengejarnya dan menariknya ke pinggir, kembali ke trotoar. Siku dan
bagian belakang lututku menempel pada pagar rumah. Sedangkan kedua telapak
tanganku masih menarik erat punggung jaket seseorang dihadapanku. Tak lama
kemudian aku melepaskannya.
"Maaf." ujarku
singkat. Aku menundukkan kepalaku.
Dalam pandanganku yang
melihat ke arah sepasang sepatuku, aku merasa dia berbalik arah. Mungkin dia
sedang menatapku sekarang. Aku bisa melihat-atau sedikit mengintip-dia sedikit
terengah-engah.
"Maaf buat apa?
Harusnya aku yang bilang makasih sama kamu."
Aku masih menundukkan
kepalaku. Aku seperti tidak mendengarnya berbicara.
"Haloo?"
panggilnya, sambil melambaikan telapak tangannya di depan mataku.
Mau tak mau aku harus mendongak
menatapnya. Sosoknya membentuk siluet. Wajahnya tampak samar-samar.
"Kamu? yang tadi
salah orang itu ya?"
Astaga dia mengingat
wajahku. Aku merutuki diriku karena peristiwa salah orang tadi. Aku hanya
tersenyum kikuk. Yang sebenarnya tersenyum untuk kembali menormalkan detak
jantungku.
Kami terdiam. Sama-sama
menatap langit barat yang tidak menampakkan jingganya. Hanya matahari yang
terbenam diantara awan-awan yang menghalangi jingga. Aku menatap langit barat
dengan nanar. Andaikan senja bisa lebih indah dari ini.. lirihku.
"Suka liatin langit
sore ya?" tanya pemilik suara yang sekarang berdiri disampingku.
Aku tersenyum dan
menganggukkan kepala dengan antusias. Sosoknya kini membentuk setengah siluet.
Aku menangkap sosoknya dari sudut mataku, dia juga sedang memandang langit
sore.
Kemudian dia menjejalkan
kedua telapak tangan ke dalam saku celananya. Sekarang dia tak lagi bersandar
pada dinding. Dia melewatiku.
"Hai, aku pulang
duluan ya."
"Iya.."
"Oh iya, by the way
thanks buat tadi udah nolongin aku."
"Oh itu, hehe iya
enggak apa-apa kok, kebetulan liat aja."
Dia tersenyum. Lagi. Kali
ini senyumnya jelas. Aku terkesiap. Hanya memandangnya ragu. Dia akan pulang?
Secepat itu kami bisa ngobrol bersama? Batinku.
Seperti bisa membaca
pikiranku dia kembali berujar, "Kalau mau ngobrol lagi sama aku, cari aja
aku di lantai dua lorong ketiga, kelas paling ujung. Duluan ya!" dia
melambaikan tangannya kemudian berjalan menjauh.
Aku masih terdiam, mencoba mengatur nafasku yang tak karuan. Kemudian aku memandang langit senja. Matahari sudah hampir terbenam, dan jingga tetap tidak menampakkan wujudnya. Aku tersenyum. Senja kali ini tak membawa dan menampakkan jingga untukku. Namun senja, membawakan senyum yang indah dan kebahagiaan di akhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar