Free Backlinks

Twitter

Bahasa

Jumat, 01 November 2013

Sebuah Senyuman

Agung Septiandi

 

Angin bertiup dingin. Aku berjalan di koridor yang sepi sambil mendekap tas punggung ku untuk sedikit menghangatkan badan. Cuaca sedang tidak baik, dan suasana sekolah tidak sesepi biasanya. Sambil terus berjalan, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, mencari sekelompok anak-anak yang biasanya masih duduk santai di ujung koridor.
Pandanganku sedikit kabur karena aku tidak menggunakan lensa kontak ku hari ini. Aku mencoba menajamkan pandangan sebisaku, kemudian berjalan menuju anak-anak di ujung koridor yang tampak membelakangiku.
"Hai ! Aku udah bawa bahannya!" sapaku ringan sambil mengibas-kibaskan tanganku karena merasa pegal.
Seseorang dari anak-anak itu menoleh ke arahku, menatapku bingung. Aku pun bingung. Entah seperti apa muka ku sekarang. Mungkin sudah berawarna merah padam karena malu.
"Kamu cari siapa?" tanyanya sopan.
Aku grogi. Jantungku berdegup kencang.
"Enng... aku... cari temen-temenku.. temenku yang biasa disini.." jawabku sambil terus mencoba menormalkan degup jantungku.
Dia menatap ke ujung kiri pandangannya, sedikit menyipitkan mata.
"Oh mereka yang itu, ya?" dia bertanya sambil mengarahkan telunjuknya. Mataku mengekori arah telunjuknya, memiringkan sedikit kepalaku.
Aku mencelos. Ternyata teman-temanku ada disana. Tanpa sadar aku mengehentakkan kaki kananku. Raut wajahku berubah kesal sekaligus menahan malu dan menahan ekspresi bodoh yang bisa saja aku tunjukkan pada seseorang dihadapanku ini.
Aku menolehkan kepalaku, melihat ke arahnya. Dia sudah kembali menekuni pekerjaannya yang tertunda karena aku. Dengan refleks aku menepukkan tanganku di pundaknya.
"Makasih ya. Maaf udah salah orang, dan mungkin mengganggu." ujarku.
Dia mendongakkan kepala, dan menjawab dengan sorot mata dan anggukkan kepala. Tak lupa sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk lengkungan tipis, samar. Kemudian kembali ke posisinya semula. Bahkan aku belum sempat membalas senyumannya. Aku berlalu begitu saja, sambil sesekali menoleh ke belakang, berharap dia sedikit merasakan kalau aku memperhatikannya. Namun yang ada malah aku tak fokus dengan koridor didepanku dan hampir menabrak tembok.
***
Matahari sudah semakin mengarah ke ujung barat, namun tanpa semburat jingga yang biasa mengiringinya. Aku mendengus sebal. Senja tidak seharusnya tidak indah seperti ini. Sebagai penggemar senja dan iringan jingganya, tiada satu hari pun terlewatkan untuk memperhatikan perbedaan senja dan jingga tiap harinya. Semuanya terasa indah, dan menyenangkan. Kecuali untuk hari ini, dan tentunya hari-hari lain yang seperti hari ini.
Kegiatan bersama teman-teman hari ini cukup membuatku kehilngan banyak mineral. Ditambah lagi jantungku yang tadi dengan teganya berdegup begitu kencang, membuatku semakin kehilangan energiku. Aku memutuskan untuk membeli minuman dingin sebentar, dan langsung pulang. Ketika aku baru saja menyebrangi zebracross, aku baru sadar, kami sedang berada di trotoar yang sama. Aku melihatnya berjalan sambil menunduk. Dari gelagatnya, dia tampak sedang berjalan sambil memainkan ponselnya. Terkadang untuk beberapa saat dia berhenti untuk sekedar merapikan jaketnya. Aku berjarak 100 meter darinya. Dan aku hanya diam melihatnya berjalan semakin menjauh.
"AWAS !!"
Aku berlari secepat mungkin mengejarnya dan menariknya ke pinggir, kembali ke trotoar. Siku dan bagian belakang lututku menempel pada pagar rumah. Sedangkan kedua telapak tanganku masih menarik erat punggung jaket seseorang dihadapanku. Tak lama kemudian aku melepaskannya.
"Maaf." ujarku singkat. Aku menundukkan kepalaku.
Dalam pandanganku yang melihat ke arah sepasang sepatuku, aku merasa dia berbalik arah. Mungkin dia sedang menatapku sekarang. Aku bisa melihat-atau sedikit mengintip-dia sedikit terengah-engah.
"Maaf buat apa? Harusnya aku yang bilang makasih sama kamu."
Aku masih menundukkan kepalaku. Aku seperti tidak mendengarnya berbicara.
"Haloo?" panggilnya, sambil melambaikan telapak tangannya di depan mataku.
Mau tak mau aku harus mendongak menatapnya. Sosoknya membentuk siluet. Wajahnya tampak samar-samar.
"Kamu? yang tadi salah orang itu ya?"
Astaga dia mengingat wajahku. Aku merutuki diriku karena peristiwa salah orang tadi. Aku hanya tersenyum kikuk. Yang sebenarnya tersenyum untuk kembali menormalkan detak jantungku.
Kami terdiam. Sama-sama menatap langit barat yang tidak menampakkan jingganya. Hanya matahari yang terbenam diantara awan-awan yang menghalangi jingga. Aku menatap langit barat dengan nanar. Andaikan senja bisa lebih indah dari ini.. lirihku.
"Suka liatin langit sore ya?" tanya pemilik suara yang sekarang berdiri disampingku.
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala dengan antusias. Sosoknya kini membentuk setengah siluet. Aku menangkap sosoknya dari sudut mataku, dia juga sedang memandang langit sore.
Kemudian dia menjejalkan kedua telapak tangan ke dalam saku celananya. Sekarang dia tak lagi bersandar pada dinding. Dia melewatiku.
"Hai, aku pulang duluan ya."
"Iya.."
"Oh iya, by the way thanks buat tadi udah nolongin aku."
"Oh itu, hehe iya enggak apa-apa kok, kebetulan liat aja."
Dia tersenyum. Lagi. Kali ini senyumnya jelas. Aku terkesiap. Hanya memandangnya ragu. Dia akan pulang? Secepat itu kami bisa ngobrol bersama? Batinku.
Seperti bisa membaca pikiranku dia kembali berujar, "Kalau mau ngobrol lagi sama aku, cari aja aku di lantai dua lorong ketiga, kelas paling ujung. Duluan ya!" dia melambaikan tangannya kemudian berjalan menjauh.

Aku masih terdiam, mencoba mengatur nafasku yang tak karuan. Kemudian aku memandang langit senja. Matahari sudah hampir terbenam, dan jingga tetap tidak menampakkan wujudnya. Aku tersenyum. Senja kali ini tak membawa dan menampakkan jingga untukku. Namun senja, membawakan senyum yang indah dan kebahagiaan di akhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar