Free Backlinks

Twitter

Bahasa

Kamis, 13 November 2014

Diaryku Tersenyum




Senyum itu dan aku hanya menatap, terdiam dan betah serasa isyaratkan dan mengartikan bahasa di jiwa, mengertikan cinta yang ingin menjadi keharusan. Keharusan selalu berada di setiap detik berdenting, temani dan menemani karena senyumnya yang membuatku jatuh cinta. Tersadari ini teduh cinta yang akan damaikan jiwa dan tak ingin terlewat dan tertinggal senyumnya.

Aku yang tak mampu dan hanya menggumam, menemui dan menemaninya dalam hayal untuk bersama menari-nari di taman surga impian. Aku yang tak mampu dan tak punya kuat alasan mengugkapkan, hanya cinta yang terasakan bersamanya dalam pelukan dalam hayalan. Aku hanya mampu menuliskan jejak hayal dalam diary untuk tinggalkan cerita perjalanan hayal.

Diaryku tersenyum, begitulah gambaran tentang cinta, tentang aku yang selalu merasa bersama karena dia adalah aku dan dia adalah hayalku, dimana rindu menjadi satu disana aku bisa menulis dan mengisahkan dalam diary yang masih tersisa lembarannya. Begitulah cinta, tak harus terungkapkan tapi dirasakan, tak harus nyata tapi hayalan. Begitulah jari jemari menghitung dan tak lagi membiji karena lebih dari satu adalah sebelas hari aku menjalani cinta dengan hayal yang sampai saat ini masih betah.

Gila, begitulah Danu mengatakannya. Tapi inilah cinta, inilah perasaan yang mampu bertahan sampai saat ini. Menjadikan sekolah tempat terindah, tempat mencuri-curi sebuah senyuman hingga tak ada kata bosan menatap dan memandangnya. Itulah aku, seolah tanpa hirau akan pelajaran, seolah menjadi keharusan dan akan tetapi harus bisa menyamarkan karena Putri adalah teman satu kelas yang baru satu bulan dipindah ke sekolahku.

“Vin, mana tugas puisimu? Yang lain sudah mengumpulkan kamunya malah enak-enakan bengong,” tanya Ibu Sri yang tanpa sadar sudah berdiri di sebelahku. Sontak saja aku menyadarkan diri dari hayal dan dengan perasaan sedikit malu karena jadi perhatian anak-anak aku pun membuka tas, mengambil lalu memberikan lembaran tugas. Setelah itu Ibu Sri menuju bangkunya Putri.

“Putri, tugasmu mana?” tanya Ibu Sri.
“Yang aku ketinggalan di rumah Bu,” jawabnya.
“Alasan saja. Ya sudah, kamu sekarang baca puisi ini di depan kelas,” suruh Ibu Sri dengan memberikan tugasku.
“Bu, apa boleh aku baca puisi yang lain” tanyanya, Ibu Sri memperbolehkan dan Putri pun maju dengan membawa buku warna merah.
“Itu kan diary punyaku?” pikirku. “Putri, itu,” tegurku.
“Darvin, diam kamu. Ayo Putri baca di depan!” pinta Ibu Sri. Putri pun maju ke depan dan membaca puisinya.

“Lembut tutur dari paras wajah seraya bernyanyi, mata indah untuk cahayanya mengisi relung hati, seperti itu adalah paras wajah yang merajai. Harum begitu merekah adalah nafasmu yang tersaji, sejuk terasa begitu kenginan untuk miliki, dan sangat pantas aku terlena kepadamu pemilik hati. Setiap ditik denting mendentingkan waktu, setiap itu dalam rintihan hati selalu memanggilmu. Seperti indah takkan terasa tanpa kehadiranmu, seperti itu di sini adalah aku tetap menunggu, hingga itu adalah jawaban dari rasa di hatimu. Aku tetap bertahan yakinkan rasamu untuk merindu, bila saatnya adalah cinta indah temukan di hatimu. Selesai”

“Bagus, bagus. Mendengar puisi itu Ibu jadi ingin jatuh cinta lagi,” kata Ibu Sri sambil bertepuk tangan dan anak-anak yang lainnya juga ikut bertepuk tangan.

“Makasi bu,” jawabnya dan Putri pun duduk kembali.

Aku hanya bisa tertunduk, malu begitulah tak kalah semua curahan hati yang tertuang dalam diary ada yang mengetahuinya. Bel pun berbunyi, aku bergegas ke luar kelas. “Darvin, diary-mu,” panggil Putri dan aku pun dengan tersipu malu mengambilnya. “Terima kasih. Tapi kenapa bisa ada di kamu?” tanyaku.
“Maafkan aku telah membacanya. Oya, tadi malam Adi memberikannya padaku,” jawabnya.
“Maafkan aku juga, kalau dengan diary-ku menjadi marahmu,” kataku.
“vin, mengapa kamu harus minta maaf lagian tak ada yang salah kok. Tapi aku heran, kenapa semua inginmu hanya tertulis dan dalam hayal, mengapa tak diungkapkan?” tanyanya.
“Entahlah, tapi semua yang terjadi hanya untuk dirasakan dan dimengerti, karena jiwaku berkata bahawasanya untuk saat ini cinta tidak harus diungkapkan dan cukup satu hati yang merasakan” tegasku.
“Kamu salah, cinta itu akan mencapai bahagia bila dua hati menyatu dan terikat dalam satu ikatan,” bantahnya.
“Hem, hem, … Ada yang pacaran,” kata Adi yang masuk ke kelas.
“Sapa yang pacaran,” kata Putri
“Adi, kenapa kamu berikan diary-ku pada Putri?” tanyaku.
“Sudahlah, jangan munafik dengan perasaanmu, aku sebagai sahabatmu hanya ingin membantumu. Kalau kamu memang cinta, nunggu apa lagi, nunggu diary-mu habis ditulis? Nyatakan, tembak!” paksa Adi. “Apa malu karena ada aku? Ya sudah aku keluar,” katanya dan setelah itu dia keluar.

Aku yang merasa kedok ku sudah terbongkar memberanikan diri lama manatapnya dan dia pun berbalas tatapan. “Putri,” sapaku dan hampir bersamaan Putri juga menyapaku, “Darvin.”

“Putri, aku bertemu sang Hawa dalam pandangan, senyumnya paksa aku untuk menjadi Adam. Dia memaksakan untuk ada cinta dan aku mencintainya. Putri, kamulah Hawa yang ku temui dan senyummu isyaratkan aku untuk mencintaimu. Putri, aku mencintaimu.” rayuku
“Apa, mencintaiku. Apa aku tak salah dengar? Bukannya cintamu hanya dalam diary dan bukkannya kata Adi kamu akan mengungkapkan jika halaman diary-mu habis ditulis?” tanyanya.
“Memang aku sudah mendapatkan cinta, tapi bukannya katamu cinta akan mendapatkan bahagia bila dua hati menyatu dan terikat dalam satu ikatan. Salahkah aku bila hayalanku menjadi kenyataan dan kamu yang menamatkan diary-nya.
“Tapi.”
“Putri, diary-ku tersenyum. Apakah kamu tak ingin mengisi hari-hariku dengan senyummu dan apakah kamu tak ingin memijamkan senyummu dan bahkan merelakan menjadi senyumku?” pintaku dan setelah itu bel berbunyi, semua anak-anak masuk kelas, Putri pun kembali ke tampat duduknya.

Selama pelajaran berlangsung aku dan Putri sesekali menatap dan mengumbar senyum, seolah mengisyaratkan sesuatu yang tak biasa dan seolah membiaskan pelajaran hingga tak terasa bel berbunyi menandakan waktunya pulang.

“Darvin, tunggu,” panggilnya melihat aku yang bergegas ke luar kelas. Dia mengambil diary yang aku pegang, membuka lembaran-lembaran yang kosong dan menuliskan sesuatu. “Baca ini!”

“I love you too,” begitu tulisan di setiap lembaran kosong dalam diary. “Benarkah?” tanyaku.

“Peluklah aku,” katanya dengan mentapku dengan senyummnya dan aku pun memeluknya. “Aku juga mengharapakan keadaan seperti ini karena aku juga mencintaimu sejak kita sering pulang bersama.”

Saat itu pun terdengar tepuk tangan, seketika itu Adi membawa anak-anak masuk kelas lagi dan semua mengucapkan selamat, aku dan Putri hanya bisa tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

semoga setelah membaca ini ada kesan yang tertinggal buat lu yang udah ngebaca 
 lain waktu akan ada cerita lagi.
suatu saat namun tidak jauh dari hari ini :)
Jika mencintaimu adalah kutukan bagiku, maka aku rela untuk dikutuk selamanya :)
Salam Admin WOLES'rs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar